Sabtu, 28 Juni 2008

AKU ADALAH KAMU


Tempatkanlah dirimu dimanapun kamu berada dengan ketabahan, keikhlasan, dan pengetahuan masa peralihan dirimu sampai tiada batas ruang dan waktu dalam berkomunikasi denganKu, menyatulah dengan dirimu sendiri, sungguh Aku bersamamu kapanpun, maka pakailah namaku, karena Aku adalah dirimu yang menjalankan dan membuktikan suci, benar dan kuasaKu


Rabu, 18 Juni 2008

KECERDASAN SPIRITUAL DAN IMPLEMENTASINYA PADA PENDIDIKAN



Maz azzqy

Esensi pendidikan merupakan proses transformasi nilai dari pendidik kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak. Pendidikan juga mempunyai tanggung jawab besar untuk membangun, membina dan mengembangkan kualitas manusia yang dilakukan secara terstruktur, terprogram, dan berkelanjutan. Dinamika dan tuntutan yang berkembang di masyarakat harus diiringi dinamika lembaga pendidikan baik formal maupun non formal.

Pada awal abad kedua puluh, kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) pernah menjadi isu besar, IQ merupakan kecerdasan yang digunakan memecahkan masalah logika maupun strategis. Para psikolog menyusun berbagai tes untuk mengukurnya dan tes-tes ini menjadi alat memilah manusia ke berbagai tingkatan kecerdasan.



Pada pertengahan 1990-an, Daniel Goleman memopulerkan penelitian dari banyak neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual bahkan lebih dari sekedar IQ. Emotional Quotient memberikan kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan orang lain. EQ memberikan rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat. EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif

Saat ini, serangkaian data ilmiah terbaru, yang sampai dewasa ini masih banyak dibahas, menunjukkan adanya kecerdasan jenis ketiga yaitu Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual. Spiritual dalam bahasa Inggris berasal dari kata “spirit” yang berarti bathin, ruhani, dan keagamaan.Sedangkan dalam kamus psikologi, spiritual diartikan “sebagai sesuatu mengenai nilai-nilai transcendental.

Awalnya kecerdasan spiritual dikembangkan oleh Danah Zohar (Harvard University) dan Ian Marshall (Oxford University) yang berkisar pada wilayah biologis dan psikologis semata. Mereka berpendapat, bahwa kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup seseorang dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Adapun menurut Taufiq Pasiak, bahwa secara harfiah SQ beroperasi dari pusat otak yaitu dari fungsi dan penyatu otak. Beliau mengatakan:
“SQ mengintegrasikan semua kecerdasan seseorang dan menjadikannya benar-benar dan utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Idealnya, ketiga kecerdasan dasar seseorang tersebut bekerja sama dan saling mendukung. Otak dirancang agar mampu melakukan hal itu. Meskipun demikian, mereka masing-masing IQ, EQ dan SQ memiliki wilayah kekuatan tersendiri dan bisa berfungsi secara terpisah.”

“Kebutuhan ber-Tuhan atau memiliki spiritualitas merupakan kebutuhan tak terelakkan pada manusia. Ada kaitan langsung dan tegas antara kebutuhan itu dan tersedianya potensi ke-Tuhanan dalam otak manusia. Para peneliti otak antara lain Universitas California San Diego menemukan daerah temporal sebagai lokasi yang berperan penting dalam perasaan dan spiritual dan mistis. Dengan pantauan EEG (alat perekam gelombang otak) tampak jelas gelombang yang khas ketika seseorang mengalami perasaan mistis dan spiritual tersebut.

SQ atau Spiritual intelligence (SI) adalah kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang meng-Ilahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, berempati dan beradaptasi. Untuk itu kecerdasan spiritual sangat ditentukan oleh upaya untuk membersihkan dan memberikan pencerahan qalbu sehingga mampu memberikan nasihat dan arah tindakan serta caranya mengambil keputusan. Qalbu harus senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya nur yang bemuatan kebenaran dan kecintaan kepada Ilahi

Sebenarnya manusia sejak lahir telah memiliki jiwa spiritual atau naluri keagamaan untuk mengenal Tuhan. Fitrah manusia yang dibawa sejak lahir ini berupa fitrah ketauhidan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-A’raaf ayat 172:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْ مبَنِىْ ءَادَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَتَهُمْ وَاَشْهَدَ هُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِيْنَ. (الأعراف :172 )
“Dan (ingatlah tatkala Allah mengambil perjanjian kesucian pada manusia secara keseluruhan) ketika Allah mengeluarkan keturunan Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman) bukankah Aku ini Rabbmu? (pencipta, pemelihara, pengatur dan pendidikmu) mereka menjawab: benar, Engkaulah Rabb kami (pencipta, pemelihara, pengatur dan pendidik kami), kami menjadi saksi (kami lakukan yang demikian itu agar disadari hari kiamat), kami tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani Adam) orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).” (QS. Al-A’raf: 172)



Ayat di atas dapat dijelaskan bahwa manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Janji suci yang diikrarkan oleh tiap manusia, telah terjadi dalam kandungan ibu dalam usia empat bulan menurut perhitungan Allah, sebuah pertemuan yang tidak dapat dilupakan bahkan diabadikan dalam quran, yakni pertemuan antara Allah swt dengan hambaNya sebagai peristiwa yang paling syakral yang jauh sebelumnya telah dipersiapkan oleh Allah, adalah peristiwa penciptaan manusia dalam kandungan sang bunda, yakni setelah manusia disempurnakan maka Allah karuniakan ruh
ثُمَّ سَوّ ٰﻪُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهِ “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh Nya” Melalui ruh tersebut manusia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah, أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلَى شَهِدْنَا Ayat tersebut merupakan dialog antara Allah dengan ruh yang berada dalam rahim sang bunda, tiap ruh mengakui keberadaan Allah sebagai Robbnya, yang dibenarkan dengan penglihatan ruh terhadap Allah.
Ayat tersebut menggambarkan sahnya syahadat dalam diri tiap manusia sejak dalam kandungan, sehingga tiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (suci), dan tergantung orang tuanya, sang anak mau dididik menjadi apa, namun dalam perjalanannya seorang anakpun tetap dituntut untuk memelihara fitrahnya sebagai manusia.

SQ menurut Al-Quran lebih berpusat pada qalb (hati). Kesadaran atau dzikrullah sebagai salah satu pintu hati, merupakan cahaya yang memberikan jalan terang, membuka kasyaf ‘tabir’ antara manusia dan Allah, dengan terbukanya tabir tersebut maka suara hati manusia selalu dalam perlindungan Allah dengan hati yang selalu hidup.

Implementasi SQ secara psikologis dan praktis menurut tokoh Barat seperti Danah Zohar, dapat disimpulkan antara lain:
1. Bagaimana manusia menyadari keberadaannya
2. Dorongan kuat untuk berubah
3. Mengetahui motivasi yang paling dalam
4. Menemukan dan mengatasi rintangan
5. Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju
6. Penetapan pada sebuah jalan, dan
7. Tetap menyadari ada banyak jalan (problem solving).

Sehingga dapat difahami bahwa implementasi SQ di atas lebih bersifat psikologis dengan penekanan pada metode untuk mengatasi problem kehidupan yang dihadapi, seperti manusia dituntut untuk menyadari keberadaannya sekarang, sebagai apa, apa yang harus dilakukan untuk merubah suasana, mampu memotivasi diri sendiri, menemukan cara menghadapi hambatan, intruspeksi diri sampai menemukan pandangan hidupnya, dan mampu memahami dan bertanggung jawab atas kehidupannya.
Sedangkan menurut tokoh muslim metode peningkatan SQ bisa melalui tiga hal, yaitu melalui tazkiyatu al qolb (pembersihan hati) dari sifat tercela (al-muhlikah), kemudian mengisinya dengan sifat terpuji (al-munjiyat) dengan melakukan ibadah sesuai tuntunan syariat. Sehingga akan mencapai derajat taqwallah (takwa kepada Allah). Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi SQ Islam sebagai upaya manusia untuk makrifat kepada Allah (taqwallah).
Misalnya menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah yang dikutip oleh Ahmad Satori Ismail, tentang mengetahui tazkiyatu al nafs dalam mendapatkan ilmu dan pemahaman. Bila ada masalah atau kesulitan memahami sesuatu, beliau pergi ke masjid di tempat yang sepi dan bersujud meletakkan dahinya ke tanah, seraya berkata: “Wahai Allah yang memberi pemahaman kepada Ibrahim, berikanlah kepadaku pemahaman.” Selanjutnya beristighfar (mohon ampun). Lebih lanjut dikatakan: “Istighfar ini terus dilakukan dan tidak dihalangi ramainya majlis atau bisingnya pasar. Beliau mengatakan: “ketika aku berada di pasar atau di masjid, jalan raya atau sekolahan, aku tetap beristighfar. Sehingga aku mendapatkan apa yang kucari
Sedangkan menurut Syaifullah sebagai berikut:
Mendidik anak dengan pendidikan spiritual dapat dilakukan dengan praktek ibadah sebagai upaya penyucian hati (tazkiyatu al nafs) yang akan memberikan ketentraman pada jiwa. Dalam ilmu Tasawuf, tazkiyatu al nafs dimaknai dengan “pensucian jiwa” itu sangat terkait dengan riyadlotu al nafsi, yang tersusun dalam 3 tingkatan:
1. Takhalli: membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran hati, maksiyat bathin.
2. Tahalli: mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji,menyinari hati dengan ketaatan/
3. Tajalli: merasakan akan Ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan.

Berdasarkan deskripsi SQ di atas, maka implementasi SQ secara praktis dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Pembersihan Hati (tazkiyatu al qolb / tazkiyatu al nafs)
Pembersihan hati adalah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran hati, serta maksiyat bathin. Adapun cara praktis yang dapat dilakukan diantaranya:
a) Taubat, yaitu dengan beristighfar (mohon ampunan kepada Allah), menyesali perbuatannya, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
b) Dzikir. Dengan cara menyebut nama Allah berulang-ulang melalui ucapan, pikiran dan hati sekaligus sampai menemukan getarannya pada lubuk hati.
c) Shalat. Memperbaiki shalat dengan memenuhi syarat dan rukun, meresapi maknanya sehingga akan mencapai kekhusyukan, seakan berhadapan langsung dengan Allah.
d) Doa. Selalu memohon (berharap) ampunan, rahmat dan ridha Allah. Hal ini dapat dilakukan kapan dan di mana saja, di waktu lapang maupun sempit.
2) Mengisinya dengan Sifat Terpuji (al-munjiyat)
Setelah membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, kotoran hati, serta maksiyat bathin, selanjutnya segera mengisi kehidupannya dengan sifat-sifat terpuji, seperti:
a) Sabar, dalam menghadapi ujian dari Allah, sabar dalam menghadapi maksiat, dan sabar dalam beribadah.
b) Tawakkal, berusaha dan berserah diri kepada Allah
c) Tawadhu, merasa rendah hati, santun, jauh dari sifat sombong
d) Zuhud, tidak menghambakan diri pada kemewahan dunia
e) Ikhlas, rela menerima kenyataan hidup
f) Syukur, berterima kasih atas segala karunia dari Allah.

3) Takwa
Setelah melalui pensucian diri dan mengisinya dengan perbuatan yang terpuji, kemudian berusaha mempertahankan dan meningkatkan kejernihan hatinya, sehingga ia akan mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu). Sehingga akan tercipta insan kamil, manusia yang mampu menciptakan hubungan baik dengan sesama manusia (horizontal) dan juga hubungan baik dengan Tuhannya (vertical), yang dikenal dengan istilah hablum minannas wa hablum minallah.

Implementasi SQ baik menurut tokoh Barat maupun Islam pada intinya sama yaitu untuk meningkatkan semangat (ghiroh), motivasi, kesadaran hati untuk mengetahui dan mengimplementasikan guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Berdasarkan kedua konsep tersebut menunjukkan bahwa SQ Barat lebih berorientasi kepada penyelesaian dan pencapaian kebahagian dunia, sedangkan SQ dalam Islam lebih kepada pencapaian kebahagiaan dunia maupun akhirat. Jika keduanya dipergunakan secara ideal maka SQ bisa diimplementasikan demi tercapainya “kebahagiaan” baik di dunia maupun di akhirat. Sesuai dengan permohonan manusia kepada Tuhannya, yakni: Duhai Allah karuniakanlah kepada kami kebaikan (kesejahteraan) di dunia dan di akhirat dan jagalah kami dari api neraka. Doa pada ayat tersebut menggugah hati seorang muslim untuk selalu mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Jadi, metode implementasi SQ bisa meliputi dua metode, sebagaimana pencerdasan spiritual menurut Sukidi terdapat 2 metode secara umum, yaitu:
1. Metode Vertikal: bagaimana kecerdasan spiritual bisa mendidik hati kita untuk menjalin hubungan kemesraan ke hadirat Tuhan. Jika dalam Islam ditegaskan dalam Al-Quran “Ketahuilah, dengan berdzikir kehadirat Allah, hati kalian menjadi tenang”, maka dzikir (mengingat Allah dengan lafadz-lafadz tertentu) merupakan salah satu metode kecerdasan spiritual untuk mendidik hati menjadi tenang dan damai. Sudah terlampau banyak dibuktikan bahwa dzikir berkorelasi positif dengan ketenangan jiwa dan menjadikan hati kita mengalami kedamaian dan penuh kesempurnaan secara spiritual.”
2. Metode Horizontal: Kecerdasan spiritual mendidik hati kita ke dalam budi pekerti yang baik dan moral yang baik. Dengan menginternalisasikan nilai-nilai spiritual ke dalam struktur pendidikan di sekolah, sehingga penting memasukkan pendidikan hati dan pendidikan moral, serta budi pekerti ke dalam kurikulum pendidikan nasional.


Islam memandang bahwa anak didik, bila dilihat dari eksistensi manusiawinya, memiliki fitrah, yakni tauhid, yang secara potensial bisa dikembangkan sebagai hamba yang sempurna yakni insan kamil, manusia yang mampu menciptakan hubungan baik dengan sesama manusia (horizontal) dan juga hubungan baik dengan Tuhannya (vertical), yang dikenal dengan istilah hablum minannas wa hablum minallah.

Untuk meraih kecerdasan spiritual, orang tua dalam mendidik anaknya harus mengenalkan kecerdasan spiritual sejak dini, dengan demikian seoarang anak akan mengenal lebih dalam tentang hidup dan kehidupan dalam dirinya, apalagi pendidikan keluarga jauh lebih penting, karena merupakan pondasi bagi seorang anak dalam proses pendidikan selanjutnya.

Juga tak kalah pentingnya pada pendidikan formal setiap guru juga harus menanamkan kecerdasan spiritual kepada para siswanya, yang bertujuan agar siswa mampu menyelesaikan tiap masalah, mampu bergaul dengan siswa/ orang lain dan dapat berempati dengan teman-temannya, serta meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhannya, sehingga para siswa dapat mengenal Tuhannya sendiri.
ungkapan man ‘arafa nafsahu fa qod ‘arofa Robbahu, siapapun yang mengenal dirinya pasti akan mengenal Robbnya. Sungguh menakjubkan kata-kata tersebut, karena mengandung inti dari perjalanan spiritual. Ada yang mengatakan perjalanan spiritual sebenarnya merupakan perjalanan meniti kedalam diri sendiri. Bukankah inti dari sholat, dzikir, meditasi sebenarnya merupakan upaya pengenalan diri sendiri. Jalan untuk mengenal diri pun sangat banyak, dari yang paling sulit dan rumit sampai yang paling sederhana.

Cara yang paling mudah untuk mengenal diri sendiri adalah dengan mengamati diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari, dengan kata lain, menjadi saksi bagi diri sendiri. Amati diri dari bangun tidur, makan, mandi, berjalan, sampai tidur lagi. Apapun yang dilakukan oleh diri amatilah. jangan sampai terlewat setiap detiknya. Hal sekecil apapun yang dilakukan, amati dan sadarilah, kalau perlu buatlah agenda harian. Pengamatan diri dilakukan secara tidak terbatas, termasuk berfikir, bahkan diam sekali pun. cara ini terlihat mudah, tapi pada waktu dilaksanakan akan sulit, dan bila telah terbiasa, maka akan menjadi sangat mudah. Apabila mengamati diri telah cukup baik. maka seseorang dapat segera menyadari perasaan yang ada didalam diri. apakah sedang marah, sedih, bahagia, dan lain-lain. Sadar akan perasaan membuat diri menjadi lebih mudah untuk memperbaiki diri.

Emosi seperti marah, tidak sabar, bosan, sedih, dendam, tersinggung, bete, itu seharusnya tidak ada dalam diri manusia. Apabila suatu hari merasa marah. mulailah berfikir mengapa marah?, Ego yang mana yang tersentil, atau saat bersedih, mulailah berfikir mengapa harus bersedih?, keterikatan apa yang menjadi sebab kesedihan? perbaiki penyebab dari perasaan negatif tersebut. Sesungguhnya semua itu disebabkan oleh mind. Dengan cara ini dapat merombak mind menjadi pribadi yang sabar, tidak pernah marah, tidak pula bersedih.

Jadi dengan lebih mengenal diri, minimal bisa terbebas dari penyakit hati.dengan menyadari bahwa selama ini yang menyebabkan penderitaan / duka dalam diri adalah mind-pikiran sendiri, bukan lingkungan dan bukan orang lain. Dan seseorang akan berhenti menuduh orang lain dan berhenti menghakimi orang lain. jika dijalankan dengan sungguh-sungguh maka sudah sulit untuk menemukan diri dalam perasaan negatif. Jika menemukan diri dalam perasaan negatif apapun perasaan itu, misalnya marah atau sedih seseorang akan merasa senang, karena melalui perasaan negatif tersebutlah seseorang dapat lebih mengenali diri sendiri.


Cara sederhana ini dapat memperkuat dasar dari perjalanan spiritual. menjalankan cara sederhana ini dapat membawa manusia untuk selalu dalam keadaan bahagia. Selalu dalam keadaan bahagia tersebutlah yang membuat diri lebih mudah dalam mejajaki perjalanan hidup ini, yakni manusia yang memilioki kecerdasan psiritual yang sempurna.





sumber

Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1992

Echol, John M. & Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1992, Cet. XX.

Ismail, Ahmad Satori, Kado Spiritual; Tips Menjadi Pribadi Shalih dan Mempesona, Jakarta: Pustaka Ikadi, 2005

Pasiak, Taufiq, Revolusi IQ / EQ /SQ Antara Neurosains dan Al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2002

S, Moh. Syaifullah Al Aziz, Risalah Memahami Ilmu Tashawuf, Surabaya: Terbit Terang, 1998

Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia Kecerdasan Spiritual Mengapa SQ Lebih Penting dari pada IQ dan EQ Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002

Zahar, Danah dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, penterjemah Rahmani Astuti dkk., Bandung : Mizan, 2002.